Ambil alih Freeport. (ilustrasi/aktual.com)

Kalau dibilang Freeport merupakan VOC Gaya Baru yang menjajah sumberdaya dan kekayaan alam Indonesia, rasa-rasanya tidak berlebihan, kalau tidak mau dibilang sebagai fakta sejarah. Bayangkan. Selama puluhan tahun, Freeport telah mengeruk emas, perak, tembaga, dan mineral berharga lainnya dari bumi Indonesia. Freeport juga telah mendapat keuntungan berlimpah tanpa memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, utamanya warga Papua.

Bukan itu saja. Kewenangan Freeport untuk mengeskpor konsentrat mentah membuat Indonesia tidak memiliki akses informasi yang akurat mengenai nilai komersial sesungguhnya dari produksi, terutama emas, perak dan tembaga.

Ketidakadilan ekonomi dari kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Freeport McMoran sudah terlihat sejak 1967. Merujuk pada Kontrak Karya sejak 1967, Indonesia hanya mendapatkan royalti tembaga sebesar 3,5%, emas sebesar 1%, dan perak 1 %.  Selain itu, hingga kini pemerintah Indonesia hanya memiliki saham 9,36%, sisanya dimiliki oleh PT. Indocopper Investama 9,36%, dan saham mayoritas dikuasai olehFreeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) sebesar 81,28%.

Padahal, Freeport punya kewajiban divestasi saham hingga 30%, karena itu Freeport telah mengingkari kewajiban divestasi saham sebesar 20,64 persen sebagai konsekuensi pasal 10 Kontrak Karya II tahun 1991 yang merevisi Kontrak Karya I tahun 1967.

Lantas bagaiman dilihat dari segi penerimaan negara. Rujukan paling valid tiada lain dari Menteri ESDM sendiri, Ignatius Jonan. Menurut Jonan, royalti dan pajak yang dibayarkan PT. Freeport selama 25 tahun terakhir hanya sebesar Rp. 214 Triliun (per tahun Rp 8 triliun).  Nilai ini jauh dari yang didapatkan negara dari pembayaran cukai rokok satu tahun pada 2015 sebesar Rp. 149,5 triliun. Fakta ini sekali lagi membuktikan bahwa pendapatan negara dari operasi Freeport sama sekali tidak sebanding dengan keuntungan yang telah diraup oleh Freeport dari bumi Papua.

Dihadapkan pada kondisi krusial tersebut, pemerintah Indonesia memang berada dalam posisi yang cukup sulit, namun harus melalukan langkah-langkah pro aktif, lepas dengan segala kontroversi dan sikap skeptis yang dipertunjukkan berbagai kalangan pemangku kepentingan sektor energi dan tambang batubara di tanah air. Begitupun, pemerintah kemudian mengeluarkan PP 1/2017.

Dalam PP 1/2017 itu, para pemegang Kontrak Karya seperti PT Freeport Indonesia, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), dan sebagainya, didorong mengubah status kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Perubahan dari Kontrak Karya jadi IUPK dinilai lebih menguntungkan karena sejumlah aspek, pertama, posisi negara lebih tinggi dibandingkan investor sehingga kendali negara sebagai pemberi ijin lebih efektif dibandingkan KK yang menempatkan negara dan investor sejajar.

Kedua, secara fiskal, jika dalam KK perusahaan tambang dikenakan royalti, iuran tetap, PPh Badan, PBB dan pajak daerah yang sifatnya tetap sepanjang waktu kontrak atau naildown, maka dalam IUPK besarnya pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bersifat prevailing. Perusahaan juga membayar retribusi daerah dan pungutan lain sesuai kebijakan pemerintah. Khusus mengenai pembayaran royalti, pemerintah menetapkan royalti tembaga naik dari 3,5 persen menjadi 4 persen. Royalti emas dari 1 persen menjadi 3,75 persen dan perak dari 1 persen menjadi 3,25 persen.

Ketiga, pemerintah juga mensyaratkan agar Freeport meningkatkan penggunaan barang dan jasa dalam negeri (local content).

Keempat, kewajiban divestasi meningkat hingga 51 persen sebagai jalan bagi pemerintah untuk meningkatkan kendali atas pengeolaan sektor tambang di Papua.

Kelima, Freeport tetap dibebankan kewajiban untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam jangka waktu 5 tahun dimana progres pembangunan smelter akan direview setiap 6 bulan oleh verifikator independen, dan jika progres tidak mencapai minimal 90 persen dari rencana yang disetujui, rekomendasi ekspor akan dicabut.

Sampai sejauh ini Freeport berkeberatan dengan pemberlakuan IUPK tersebut dan mengancam akan membawa hal ini ke badan arbitrase internasional. Terlepas hal ini merupakan hak sepenuhnya Freeport, namun dalam perspektif kepentingan nasional, jika ini benar-benar dilakukan oleh Freeport, justru merupakan momentum untuk menghentikan kerjasama dengan Freeport, dan mengambil alih operasi perusahaan jaringan Rockefeller tersebut kepada pemerintah Indonesia.

Pastinya keputusan Pemerintah Indonesia menghentikan kerjasama dengan Freeport akan didukung oleh seluruh elemen strategis bangsa, utamanya para pemangku kepentingan sektor tambang dan batubara di Indonesia. Atas dasar pertimbangan bahwa bangsa Indonesia sendiri sudah siap baik dari segi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, untuk mengelola operasi yang selama ini dilakukan oleh Freeport.

Gagasan strategisnya adalah, kiranya penting bagi para pemangku kepentingan sektor tambang dan batubara di Indonesia bahwa penting bagi kita untuk memastikan peranan negara secara penuh dan efektif dalam mengelola sumber daya alam strategis, termasuk berbagai mineral penting selain emas, perak dan tembaga yang dikandung dalam tambang Freeport.

Apalagi ada beberapa laporan yang berkembang sejak beberapa tahun terakhir, adanya indikasi bahwa ada potensi mineral yang penting seperti uranium, bagi pengembangan energi masa depan Indonesia.  Sehingga pengambilalihan Freeport  pada perkembangannya juga bisa dipandang sebagai  langkah pengamanan energi masa depan (energi security) bagi Indonesia.

Di atas itu semua, ancaman yang digulirkan oleh CEO Freeport McMoran, Richard C Adkerson tidak bisa dianggap sebagai manuver bisnis belaka. Mamuver Adkerson harus kita pandang sebagai manuver politik yang mencerminkan sikap dan kebijakan strategis pemerintah Amerika Serikat, untuk menekan dan melakukan intimadasi terhadap kedaulatan nasional dan kewenangan pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan strategis bidang energi dan sumberdaya yang sesuai dengan kepentingan nasional dan aspirasi masyarakat Indonesia.

Hendrajit