Jakarta, Aktual.com – Salah satu berita yang menarik perhatian publik pada tahun 2018 adalah kasus hukum Ibu Karen Agustiawan (Direktur Utama PT Pertamina 2009-2014). Pada bulan Maret 2018 beliau ditetapkan sebagai tersangka, dan pada 24 September 2018 dijebloskan ke Rutan Pondok Bambu.

Kejaksaan Agung menuduh Ibu Karen telah melakukan korupsi ketika Pertamina mengakuisisi lapangan migas di Blok Basker, Manta dan Gummy (BMG), Australia. Karena tidak menghasilkan minyak sesuai dengan yang diperkirakan, Kejagung melalui Kantor Akuntan Publik menyatakan bahwa proyek akuisisi Blok BMG telah menyebabkan kerugian keuangan negara.

Sementara dari berita yang saya peroleh proyek ini telah mendapatkan pembebasan dan pelunasan tanggung jawab (acquit et de charge) pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB – 2010), dan BPK telah melakukan audit Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT – 2012) dengan hasil tidak ada temuan. Aksi korporasi ini diawali pada bulan Januari 2009, sebelum Ibu Karen dilantik sebagai Dirut Pertamina.

Bagaimana Aksi Pertamina di Era Ibu Karen?

Dalam artikel ini saya tidak akan membahas hal-hal yang bukan kompetensi saya. Berbekal pendidikan di bidang Hubungan Internasional dan Ketahanan Energi (Energy Security), saya paham betul apa makna dan bagaimana mewujudkan ketahanan energi di negeri ini. Saya sangat setuju dengan Ibu Karen yang telah melakukan ekspansi ke luar negeri dalam upaya meningkatkan cadangan dan produksi migas nasional ke depan.

Mengapa? Karena jaminan ketersediaan pasokan energi merupakan salah satu aspek utama dalam mewujudkan ketahanan energi suatu bangsa.
Dalam konteks tersebut, saya anggap aksi korporasi yang dilakukan Ibu Karen dan jajaran direksi waktu itu sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan Ketahanan Energi Indonesia.

Hal yang sama dilakukan oleh korporasi negara-negara maju seperti Exxonmobil, Chevron (Amerika), British Petroleum (Inggris), Total (Perancis), CNR Ltd., Talisman (Kanada), INPEX (Jepang) dan Sinopec (Cina). Bahkan sampai ke negara-negara ASEAN seperti Petronas (Malaysia) dan PTT (Thailand). Petronas kini sudah memiliki ladang migas di 23 negara, sedangkan PTT di 10 negara.

Saya pikir, salah satu alasan utama mengapa Pertamina harus mencari ladang minyak ke luar adalah karena cadangan minyak domestik hanya tersisa sekitar 3,3 miliar barel. Menurut Wamen ESDM [2017], diperkirakan cadangan ini akan habis dalam waktu 11-12 tahun.

Dengan fakta ini mustahil Indonesia bisa lolos dari middle income trap pada 2030, tanpa melalui kerja keras mencari ladang minyak ke luar negeri. Meskipun sumber energi terbarukan seperti biodisel dan bioetanol bisa menjadi pengganti, namun menurut para pakar dari berbagai kalangan belum bisa menggantikan peran BBM sepenuhnya. Artinya, peran minyak masih akan dibutuhkan setidaknya sampai 2030.

Strategi “bertahan” KESDM melalui Pertamina dengan cara mengoptimalkan cadangan domestik pun saat ini akan sulit dilakukan. Hal ini utamanya jika pasokan harus bisa mengimbangi laju pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang tinggi. Menurut para ahli, sumur-sumur migas kita umumnya sudah tua, bergeser dari barat ke timur dan dari darat ke laut dalam.

Sehingga, untuk sumur baru keekonomiannya harus betul-betul diperhitungkan mengacu kepada biaya produksi dan harga minyak mentah dunia.
Dalam sejarah Pertamina, aksi akuisisi lapangan migas di luar negeri justru banyak dilakukan oleh Ibu Karen. Perusahaan plat merah ini dalam waktu relatif singkat giat mencari ladang migas di dunia. Selain untuk memenuhi kebutuhan pasokan minyak nasional, aksi ini juga guna mengurangi volume impor minyak yang bisa menyedot devisa negara. Manfaat lainnya, aksi ini bisa mendorong Pertamina menjadi perusahan kelas dunia, dan sekaligus meningkatkan Ketahanan Energi Indonesia.

Memang bukan hal yang mudah untuk menyediakan pasokan energi bagi 260 juta jiwa penduduk. Buktinya pasca mundurnya Bu Karen, Pertamina telah mengalami kesulitan sehingga sering berganti pimpinan. Dalam empat tahun terakhir, Pertamina telah dipimpin oleh tiga orang Dirut dan dua orang Plt. Dirut. Hanya Bu Karen yang mampu menjadi Dirut selama hampir enam tahun pasca reformasi, dan berhasil!

Saya jadi teringat ketika Bu Karen diwawancarai oleh sebuah media lima tahun lalu. Ketika itu beliau berkata: “Kalau akuisisi suatu lapangan minyak, seperti judi dengan tingkat keberhasilan yang rendah. Perusahaan sekelas Exxon pun pernah dryhole (kering) waktu ngebor di Surumana.”

Pesannya, setiap aksi bisnis tidak mungkin selalu untung! Bu Karen pernah mengatakan kepada saya: “Dalam bisnis hulu migas, apapun alasannya, kegagalan investasi merupakan fenomena yang biasa di dunia.”

Pertamina bukan satu-satunya perusahaan migas yang pernah mengalami kegagalan investasi. Kegagalan ini juga dialami oleh perusahaan migas asing yang berbisnis di Indonesia. Pada kurun waktu 2009-2013 terdapat 11 perusahaan yang gagal mengebor dengan nilai kerugian sebesar USD 1,9 miliar. Perusahaan yang paling besar kerugiannya adalah Conocophillips (USD 311 juta) dan Exxonmobil (USD 302 juta). Demikian halnya dengan Petronas yang telah mengalami kerugian di lapangan Kepodang, Jawa Tengah (2018). Namun, berbeda dengan Pertamina yang para direksi dan stafnya dipidanakan, Petronas tidak mengalami perlakuan yang sama dari pemerintah Malaysia.

Jadi, saat menerima tautan petisi kasus hukum yang sedang Bu Karen hadapi, saya langsung menandatanganinya. Menurut hemat saya, kriminalisasi aksi korporasi di Blok BMG bisa menjadi preseden buruk bagi para direksi BUMN dan bisa menghambat terwujudnya ketahanan dan kemandirian energi bangsa ini ke depan. Sudah sepantasnya dan sudah saatnya kita menghormati para pejuang ketahanan energi di negeri ini. Sesungguhnya, jumlah dan jenis energi yang dikonsumsi oleh suatu bangsa merupakan indikator dari tingkat pendidikan, kesehatan dan pada akhirnya kesejahteraan setiap warganya. Itulah hakikat dan tujuan utama mengapa ketahanan energi perlu segera diwujudkan.

Mari kita sama-sama menghargai keberhasilan dan jasa-jasa Ibu Karen, baik itu dari sisi kinerja bisnis Pertamina maupun prestasi lainnya yang sangat membanggakan rakyat Indonesia. Yuk kita do’akan beliau agar dibebaskan dari semua fitnah yang sedang dideritanya. Biarkan beliau menjalani masa pensiunnya dengan tenang sebagai seorang isteri, ibu, nenek dan hamba Allah SWT.

Oleh: Debby Rizqie (Masyarakat Ketahanan Energi Indonesia)