Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mencabut izin pelaksanaan reklamasi Pulau F, Pulau I dan Pulau K. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan pengakuannya terkait adanya pelanggaran dalam mendirikan bangunan di dua pulau reklamasi, yaitu Pulau C dan Pulau D.

Pengakuan ini dilontarkan oleh Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (Kadis CKTR) DKI Jakarta, Benny Agus Chandra, kepada wartawan di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (14/11).

“Kalau dia (pengembang) kesalahannya adalah membangun mendahului izin,” ucap Benny.

Menurutnya, hal ini sudah diketahui Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (CKTR) DKI Jakarta sebelum diterbitkannya moratorium oleh pemerintah pusat pada 2016 lalu. Tidak hanya itu, Dinas CKTR bahkan sempat berencana membongkar paksa bangunan yang terdapat di Pulau C dan Pulau D.

“Surat perintah pembongkaran ada, tapi kemudian PT Kapuk Naga Indah memohon toleransi kebijakan,” jelas Benny.

Selain itu, lanjutnya, permohonan dari pengembang juga didasari oleh masih digosoknya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKS Pantura Jakarta) yang menjadi dasar dari pelaksanaan reklamasi.

“Dan jika tidak sesuai dengan rencana tata ruang, mereka siap membongkar,” ucapnya.

Surat pembongkaran itu sendiri dikeluarkan setelah Dinas CKTR mengirimkan dua kali Surat Peringatan kepada PT Kapuk Naga Indah (PT KNI), selaku pengembang dari Pulau C dan Pulau D.

Benny sendiri mengakui jika kronologi tersebut terjadi sebelum ia menjabat sebagai Kadis CKTR DKI Jakarta. Menurutnya, rencana pembongkaran pun menguap setelah diterbitkannya moratorium reklamasi Teluk Jakarta pada tahun lalu.

Ia beranggapan bahwa pasca moratorium, masalah ini sudah menjadi wewenang dari pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KLHK sendiri menjadi pihak yang menyegel pulau-pulau hasil reklamasi, termasuk Pulau C dan Pulau D.

“Nah pas moratorium, kewenangan menyegel itu (milik pemerintah) pusat, masa saya semua? Karena pemerintah pusat kan yang melakukan moratorium, KLHK yang melakukan segel, nah itu (wewenang) mereka,” terang Benny seraya berdalih.

Ketika ditanya mengenai wacana pembongkaran, Benny tidak menjawab secara tegas. Ia hanya mengatakan jika tindakan Pemprov DKI akan disesuaikan dengan Perda RZWP3K dan RTRKS Pantura Jakarta yang saat ini tak kunjung diterbitkan.

“Kalau melanggar rencana tata ruang dibongkar. Ini kan lagi proses Raperda-nya. Yang perlu adalah bagaiman tidak ada kegiatan di sana,” jawabnya.

Ia menambahkan, usai dicabutnya moratorium pada 5 Oktober 2017 lalu, pihaknya telah melakukan pengecekan terhadap bangunan ilegal yang berada di atas Pulau C dan Pulau D.

“Karena gedungnya masih di bawah 5 lantai, maka ini kewenangan Sudin CKTR Jakarta Utara. Saya bilang Sudin kamu cek aja dulu, nanti lapor saya. Ini lagi nunggu laporannya,” kata Benny.

Di lain pihak, Deputi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Tigor Hutapea menyatakan bahwa saat ini terdapat banyak isu yang dihembuskan untuk menciptakan opini yang seakan-akan menganggap reklamasi sebagai sebuah proyek yang legal.

“Ya, bahasa saya itu ada manipulatif hukum. (Masih) ada moratorium yang masih berlangsung, tapi pembangunan masih berjalan,” ucap Tigor ketika dihubungi Aktual, Senin (13/11).

Menurutnya, isu ini sengaja dihembuskan untuk membuat reklamasi tampak rumit sehingga menjadi benang kusut yang tak dapat diuraikan lagi.

Polemik ini, lanjutnya, dapat selesai dengan cara yang sangat sederhana, yaitu intruksi dari Presiden Joko Widodo dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan untuk menghentikan proyek di pesisir utara tersebut.

“Memang kewenangannya berdasarkan Keppres (78/1995) itu kan Gubernur. kalau gubernur gak menjalankan ya gak bakal jadi apa-apa . Sama juga kalau pemerintah pusat kalau bilang hentikan ya enggak bakal jadi apa-apa, karena ini kan proyeknya pemerintah pusat,” terangnya.

Teuku Wildan A.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Teuku Wildan