Perjanjian Preman (ilustrasi/aktual.com)
Perjanjian Preman (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Sepak terjang Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kerap main gusur melibatkan militer tanpa menghargai proses peradilan, menuai kritik tajam. Salah satunya dilontarkan akademisi dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi.

Klaim bahwa Ahok mendukung pluralisme, toleransi, pro minoritas dan kebhinekaan, dipertanyakannya. Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga menilai Ahok justru merupakan sosok anti pluralisme, anti toleransi, anti kaum minoritas dan anti kebhinekaan. Mengapa demikian?

Beber Airlangga, jika dipikir secara logis, bukan ledek-ledekan atau model kampanye, dipahami bahwa pluralisme, hak kaum minoritas dan kebhinekaan adalah suatu perjuangan berbasis kebaikan bersama. “Common good dan berkarakter universal dalam penghargaan atas keberagaman,” ujar dia dalam penjelasan tertulis, Minggu (25/9).

Sedangkan Ahok, yang mengklaim mengusung isu keberagaman, pluralisme, penghormatan terhadap kaum minoritas, malah kerap main gusur menggunakan kekuatan militer. Menggusur tanpa libatkan partisipasi warga atau menunggu keputusan pengadilan. “Maka sejatinya, dialah (Ahok) yang mereduksi universalitas dan kebaikan bersama dari gagasan-gagasan di atas,” kata Airlangga.

Akan sulit masuk logika, sambung dia, warga korban gusuran yang dirampas haknya sebagai warga negara oleh Ahok, lalu berjuang bersama bersatu dengan kalangan (baca: Ahok) yang di satu sisi mengusung pluralitas tapi di sisi lain merampas hak mereka. Yakni dengan menggusur tanpa partisipasi dan menghormati harga diri sebagai warga negara.

Di titik inilah, Airlangga mempertanyakan di mana kemajemukan dan pluralitas yang kerap disumbarkan Ahok. Juga di mana hak-hak kaum minoritas bisa eksis dan diakui kalangan yang menjadi minoritas karena ketiadaan akses pada ‘power’ dan malah menjadi korban kebijakan Ahok. Klaim Ahok sebagai pengusung pluralisme dan kebhinekaan pun jadi bertentangan dengan kenyataan sepak terjangnya sendiri di penggusuran warga miskin di Jakarta.

Karena itulah, Airlangga mempertanyakan sosok Ahok yang mengklaim mengusung pluralisme dan kebhinekaan, namun sambil di saat yang sama lakukan penggusuran. “Logika menjadi senjata paling jernih untuk menguraikan bahwa mereka (baca: Ahok) sebenarnya merupakan pembajak gagasan-gagasan kemanusiaan itu sendiri,” ujar dia.

Di ujung tulisannya, Airlangga melontarkan tantangan bagaimana cara menegakkan kembali ide-ide kemanusiaan itu tadi? Jawab dia, “Lawanlah, ‘reclaim’, rebut kembali pluralisme, kebhinekaan dan penghargaan atas kaum minoritas kembali menjadi politik bersama, politik universal bagi seluruh warga termasuk kaum marhaen.”

Artikel ini ditulis oleh: