Megawati diminta turun tangan. (ilustrasi/aktual.com)
Megawati diminta turun tangan. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Lepas dari apa memang sudah bawaan bayi  Basuki Tjahaja Purnama atau sering dipanggil Ahok yang suka bicara  ceplas ceplos tanpa dipikir dulu apa akibatnya atau memang by design.

Namun ketika menyinggung soal hubungan Megawati Sukarnoputri dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan  (PDIP) yang cukup sensitif, terus terang untuk kali ini Ahok telah membuka kotak pandora PDIP yang selama ini tabu dibicarakan di internal PDIP. Semua elemen di partai berkepala banteng ini paham, namun seakan bersepakat agar hal itu jangan dibicarakan secara terbuka.

Namun mengingat karakter Ahok yang dari dulu memang begitu adanya, aturan tidak tertulis tersebut dengan entengnya ditabrak begitu saja. Seusai pertemuan informal dengan Megawati, Ahok bilang kalau Ibu Mega sejatinya sudah setuju dirinya diusung lewat PDIP. Hanya saja dalam kenyataannya kan ada prosedur dan mekanisme di DPP PDIP yang harus ditempuh. Namun Ahok menandaskan, pada akhirnya toh kalau Mega sudah memutuskan, semua di PDIP pasti semua bakal patuh dan setuju.

Itu tentu saja benar, tapi pernyataan  seperti itu jelas seperti  memaksa kader kader dan para pengurus di jajaran struktural PDIP untuk menelan pil pahit. Karena memang kenyataan obyektif di PDIP seperti itu. Pada satu sisi Megawati dan PDIP memang tak bisa dipisahkan, apalagi putri Bung Karno ini juga Ketua Umum PDIP.

Namun yang seringkali dinafikan oleh para pengamat politik, kadang Megawati dan PDIP merupakan entitas politik yang berbeda. Karena seringkali punya agenda dan strategi politik yang berbeda, dan tak jarang saling benturan. Yang kala itu, dipersonifikasikan melalui benturan antara Megawati dan suaminya, alm Taufik Kiemas(TK). Begitulah sejatinya PDIP sejak awal kelahirannya, diwarnai oleh sistem dualisme Kepemimpinan bersama Megawati dan Taufik Kiemas, yang sama-sama mengatur hal-hal strategis menyangkut kepartaian. Meskipun kata akhir dan akhir kata, tetap di tangan Megawati.

Sewaktu Taufik Kiemas masih hidup, PDIP itu praktis merupakan dualisme kepemimpinan yang secara tidak tertulis sudah jadi konvensi. Tidak usah dibicarakan secara terbuka dan tidak usah ada aturan tertulis, bahwa yang namanya penentu akhir PDIP itu ya dua orang itu. Mega, ketua umum. Dan Taufik Kiemas, suami Mega, tapi juga politikus ulung dan dulunya juga kader GMNI. Soal GMNI-nya model apa dan kayak gimana, itu bukan urusan saya. Faktanya, dia alumni GMNI, dan sampai hari ini, banyak kader GMNI yang memandang almarhum TK sebagai patron politik mereka.

Karena kenyataannya PDIP itu merupakan dualisme kepemimpinan, maka baik Mega maupun TK sama sama punya agenda strategis, dan sama sama punya basis pendukung dan kader-kader andalannya sendiri-sendiri. Mereka kadang sama sama pasang kuda-kuda, tapi saat yang sama juga siap untuk saling berbagi konsesi dan berbagi keuntungan. Bisa soal duit, bisa soal jabatan, bisa juga konsesi dalam menangani proyek bareng-bareng.

Basis dukungan strategis Mega biasanya dicirikan melalui jalur-jalur informal, di luar struktur kepartaian atau organisasi massa baik keagamaan maupun kepemudaaan dan kemahasiswaan, atau bahkan melalui hubungan-hubungan personal yang dibangun Mega dengan beberapa tokoh penting baik di era Bung Karno hingga era Pak Harto.

Adapun TK, basis dukungan strategisnya mengandalkan pada orang-orang yang berkiprah sebagai aktivis atau pegiat di struktur organisasi baik ormas-ormas sosial-politik, keagamaan, maupun pemuda dan mahasiswa, baik di dalam naungan PDIP sendiri, maupun di luar PDIP. Dicirikan melalui para politisi partai maupun ormas, pemain pemain sentral di berbagai ormas berbasis massa yang cukup luas baik di bidang sosial-politik maupun keagamaan dan pemuda-kemahasiswaan. Dan di atas semua itu, para politisi partai yang karir politiknya dirintis melalui struktur kepartaian PDIP dari tingkat anak cabang, cabang, pengurus DPD hingga DPP tingkat nasional. Pada sayap struktural baik di internal dan luar PDIP, berada dalam pembinaan dan penangananan TK.

Ketika TK meninggal dunia, masalah krusial mulai muncul hanya saja tersamar di bawah permukaan. Basis dukungan strategis TK yang kemudian jadi gerbong politik yang cukup beragam dan kompleks tiba-tiba kehilangan lokomotif, sehingga komunikasi politik yang selama ini terjalin dengan baik melalui TK, tiba-tiba putus.

Maka muncullah Puan Maharani sebagai lokomotif pengganti, namun bagi para penumpang gerbong yang selama ini berkomunikasi dengan baik dan enak karena TK selain suami ketua umum PDIP, juga seorang politisi yang hangat dan peka dengan aneka kepentingan yang terucap maupun tidak terucap, tiba tiba harus mengandalkan Puan yang dinilai dari berbagai sisi, bukan kaliber yang bisa disamakan dengan almarhum bapaknya.

Kalau TK, merupakan penyambung lidah dan aneka kepentingan dan agenda berbagai kelompok kepada Mega, dan mampu berkomunikasi dengan Mega secara setara, kalau perlu malah sampai berantem dan lempar piring segala. Dengan Puan, para anggota Gerbong eks TK ini, jelas tak mungkin mengharapkan Puan mampu jadi komunikator politik mereka kepada Mega yang sama efektifnya seperti ketika mereka mengandalkan TK dulu.

Sekarang, Puan paling cuma jadi messanger atau kurir aneka kepentingan gerbong eks TK dulu, dengan harapan Mega cukup mau mengakomodasikan kepentingan para anggota gerbong Eks TK dulu.

Dalam menyikapi soal Ahok ini kenapa begitu ruwet dan muter-muter, karena latar belakang itu tadi. Mega, dan jalur-jalur informal non struktural PDIP yang merapat ke Mega sejak dulu, bahkan sejak masih ada TK, jelas mengharap Mega tetap menggolkan duet Ahok-Djarot untuk DKI satu.

Sementara jalur-jalur struktural kepartaian yang mayoritas dulunya tergabung dalam gerbongnya TK, sebenarnya juga gak punya jago yang cukup bisa diandalkan untuk menandingi Ahok. Sehingga pada tingkatan akhir sebenarnya juga ‘oke-oke aja’ sama Ahok, cuma mereka tidak setuju kalau Djarot Saiful Hidayat disandingkan dengan Ahok. Mereka pengen calon lain diajukan sebagai calon wakil gubernur.

Jadi, perseteruan di internal PDIP ini sekarang ini, sama sekali tidak fundamental dan prinsipil, antara yang pro Ahok diusung PDIP dan yang menentang Ahok diusung PDIP, dan harus jagokan calon lain. Bukan. Melainkan pertarungan kepentingan dan agenda, yang wujud pertarungan terselubungnya bukan menentukan Ahok atau calon lain, melainkan siapa pendamping Ahok.

Namun semua faksi di internal PDIP saya kira akan sampai pada kesimpulan, tak ada jago yang bisa dimunculkan untuk menandingi Ahok, sehingga titik krusial kemudian, siapa calon wakil pendamping Ahok.

Karena calon pendamping Ahok mutlak harus dari kader tulen PDIP, maka di situ pula titik krusialnya hingga hari ini. Karena di situ pula titik perseteruan dan saling tarik menarik untuk meyakinkan Mega, untuk membuat keputusan yang menguntungkan salah satu dari faksi tersebut.

Jadi titik perseteruannya adalah, ada yang ingin tetap mempertahakan duet Ahok-Djarot, dan ada yang ingin Ahok disandingkan kader PDIP yang lain. Yang bukan Djarot.

Djarot, meskipun alumni GMNI namun karena basis kekuatannya adalah Blitar, maka secara emosional Djarot lebih mengabdi pada Mega ketimbang TK. Faksi TK, ingin Mega memunculkan figur kader PDIP yang lebih mewakili kepentingan faksi yang dulunya dilokomotifi oleh TK dan sekarang Puan.

Hendrajit

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit