Jakarta, Aktual.com — Sebuah diskusi buku Mereguk Cinta Rumi yang diselenggarakan di Galeri Indonesia Kaya antara lain mengingatkan kembali tentang hakikat agama.

Pembicara dalam diskusi tersebut, Haidar Bagir, penggelut sufisme, dan Albertus Bagus Laksana SJ, rohaniman Katolik, sampai pada kesimpulan yang semakna: cinta itulah esensi agama.

Memaknai agama sebagai sistem iman yang bersumber dan bermuara pada cinta merupakan satu cara mendekati agama dari sisi spiritualitas.

Di sini agama dipahami dalam esensinya yang bekerja di ruang privat. Para pembawa ajaran dan utusan-utusannya adalah sosok yang memperlihatkan keluhuran moral dan perilaku.

Beragama dengan demikian adalah bereksistensi dalam bingkai mewujudkan kehendak Ilahi. Masing-masing agama, mempunyai tata cara ritual yang berbeda meskipun kesemuanya mengarah pada satu titik tujuan: penyerahan pada kehendak Yang Maha Kuasa.

Namun, pemaknaan agama sebagai cinta dan penyerahan diri pada Yang Maha Pencipta itu sering bertabrakan ketika tafsir setiap pemeluk agama diberlakukan sebagai ideologi di ruang publik.

Begitu agama diseret ke ruang publik dan dijadikan panji ideologis untuk memperlihatkan identitas diri, lalu digunakan untuk alat meneguhkan identitas eksklusif, saat itulah benih-benih problem kemanusiaan mulai mencuat.

Di situ agama mulai dipakai sebagai senjata untuk pembenaran atas motif-motif yang bersumber pada egoisme manusiawi. Di sini lah mulai munculnya kontradiksi dalam diri sang penafsir agama.

Agama pada hakikatnya dilahirkan untuk menjadi solusi atas persoalan manusiawi seperti keserakahan, kekerasan dan ketidakadilan sosial ekonomi. Semua agama, seperti diperlihatkan Huston Smith, berkepentingan dengan hidup di dunia yang damai, jauh dari keserakahan, keganasan nafsu membunuh, dan kesewenang-wenangan manusiawi.

Namun, kehidupan yang sarat konflik dan kelangkaan ekonomi membuat sesama mansuia saling bertikai dalam usaha mempertahankan hidup untuk kesintasan diri.

Tak pelak lagi, agama pun dijadikan senjata ampuh untuk melawan, memenangi pertikaian dan menegakkan hegemoni. Novelis Umberto Eco, dalam ‘The Name of The Rose’, melukiskan fenomena ini dan memperlihatkan pada pembaca bahwa ruh iblis pun hinggap di sosok yang memerankan diri sebagai agamawan.

Di masa sekarang, ketika spiritualisme tak lagi efekktif menyelesaikan berbagai sengketa kemanusiaan yang dipicu kelangkaan sumber-sumber ekonomi, agama pun dituntut ambil bagian dalam penyelesaian persoalan kemanusiaan itu.

Namun sayang, peran agama di ruang publik tak seluruhnya memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Tak jarang, agama pun tak lagi dipandang sebagai variabel dalam penyelesai persoalan kemanusiaan. Kadang malah agama menjadfi sumber konflik. Fenomena inilah yang antara lain menyebabkan dialog antarpemeluk agama-agama tak pernah dihentikan.

Gesekan antar dan intrapemeluk agama-agama kerap terjadi ketika faktor politik ikut bermain dalam dinamika kehidupan keseharian.

Pertikaian internal pemeluk agama-agama bahkan kadang tak kalah keras dibandingkan dengan konflik antaragama. Semua agama-agama besar di dunia mengalami konflik internal maupun eksternal berdarah-darah sebagaimana terekam dalam sejarah.

Mengapa semua ini terjadi? Mengapa agama yang esensinya cinta tapi kadang memercikkan api kebencian? Jawab atas pertanyaan ini sesungguhnya ada dalam ajaran agama itu sendiri namun gagal diabadikan dalam kesadaran dan perilaku pemeluk agama itu sendiri.

Pengorbanan, itulah kata kunci yang digaungkan ajaran agama-agama namun tenggelam dalam kobaran api ego manusia.

Cinta dan pengorbanan adalah dua sisi dari satu esensi yang bernama agama.

Tampaknya, para mistikus, penyair sufi, filsuf, teolog, pemikir kontemporer tak habis-habisnya mengupas kompleksitas hakikat cinta dan pengorbanan. Khazanah pengetahuan manusia soal dua tema sentral itu kian beragam dan mendalam namun persoalan kemanusiaan tak kunjung selesai. Kenapa? Ya karena tak ada korelasi antara akumulasi pengetahuan dan masalah keseharian.

Para pemikir kontemporer seperti Profesor Syed Vahidudiin dan Kathleen Bliss memperlihatkan bahwa berbagai perubahan dan dinamika kehidupan modern kian membuat agama-agama berada dalam situasi krisis dan dilematis.

Krisis yang sempat melanda agama-agama pun dipertajam oleh sekularisme yang kian menjadi-jadi. Yang paling mutakhir, agama-agama semakin dihadapkan pada fenomena problematis berupa keinginan kaum homoseksual, lesbian, biseksual dan transgender yang menuntut diakomodasi dalam proses ritual perkawinan mereka. Para tokoh agama-agama pun terbelah dalam melihat persoalan mutakhir ini.

Tampaknya, untuk kepentingan kedamaian hidup keseharian, memandang agama dengan kaca mata seorang sufi, dan memperlakukannya sebagai ideologi yang beroperasi di ruang privat lebih afdol dibandingkan dengan membiarkannya sebagai ideologi yang menampakkan wajahnya di ruang publik.

Sebetulnya, membawa agama ke ruang publik tak menjadi masalah sejauh figur yang mengusungnya itu menyadari untuk memperlakukannya sebagai kekuatan untuk menyatukan dan bukannya memecah belah.

Dengan kata lain, agama harus digunakan untuk membangun jembatan bukan membangun tembok. Namun imperatif etis itu sering bertolak belakang ketika seorang politisi harus berkampanye untuk menyenangkan hati konstituen dan merebut suara mereka.

Di tangan orang yang salah, agama pun menjadi peranti yang berbahaya, alat membasmi dan menumpas lawan yang tak seideologi. Di sini, lenyaplah esensinya sebagai cinta kasih, yang harus dihidupkan dengan jalan pengorbanan.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara