Radikalisme sejatinya berasal dari paham nihilisme, bukan dari ajaran Islam. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Maraknya isu-isu radikalisme dewasa ini perlu dijawab dengan responsif. Isu yang demikian tidak boleh lagi dirawat agar penyebarannya tidak menyempitkan yang waras, apalagi bila itu terjadi pada sekte-sekte agama.

Kemunculan radikalisme umumnya bermula dari adanya konflik di dalam masyarakat. Konflik tersebut bisa disebabkan oleh negara maupun kelompok lain yang berbeda paham dan keyakinan. Pihak yang merasa diperlakukan secara tidak adil, lalu melakukan perlawanan.

Bagi sebagian orang, meyakini radikalisme justru menyelesaikan masalah, tetapi tidak sedikit di bagian lain yang menentang radikalisme dalam bentuk apapun. Sebab, mereka meyakini bahwa radikalisme justru tidak menyelesaikan apapun bahkan akan melahirkan masalah lain yang memiliki dampak berkepanjangan. Lebih lajut lagi, radikalisme justru akan menjadikan citra kelompok tersebut tidak toleran.

Radikalisme dan Agama

Belum lama ini, Rohingnya di Myanmar menjadi perhatian dunia. Banyak isu di media yang telah menjelaskan adanya gerakan ekstrim dan radikal yang terdapat di Myanmar. Dalam kasus ini, terdapat ekstrim buddha (Gerakan 969). Dan juga terdapat gerakan ekstrim dan radikal muslim (Bengli dan ARSA).

Mengutip dari pemaparan Ito Sumardi DS, Dubes RI Myanmar, yang diberitakan oleh detik jumat kemaren (8/9/2017). Bahwa isu Rohingnya memang persoalan yang menahun di Myanmar yang belum terselesaikan hingga saat ini karena masalahnya sangat komplek dan tidak sesederhana yang dibayangkan masyarakat di tanah air.

Sejak persoalan kewarganegaraan dari etnis ini tidak dapat terakomodasi dengan baik dalam UU Kewarganegaraan Myanmar (Burma), Etnis Rohingnya juga terjerembab pada konflik horizontal dengan etnis Arakan yang menjadi suku mayoritas di Rakhine State, yang kemudian memuncak pada saat terjadinya kasus pemerkosaan dan pembunuhan antar dua kelompok etnis tersebut pada tahun 2012.

Bahkan dalam konflik itu melibatkan tokoh agama, namun konflik itu sebenarnya juga berakar pada soal social economy, poverty dan etnisitas. Peristiwa ini telah menggugah kemanusiaan kita semua namun perlu pertimbangan yang bijak dan lebih cermat dalam mengambil jalan sikap kita sehingga tidak gegabah memperlebar isu dan menimbulkan konflik baru.

Pada kesempatan ini, tulisan ini tidak menitik beratkan pada konflik yang terjadi di Rohingnya, akan tetapi, pada persoalan radikalisme. Kita coba tarik kesimpulan dari konflik Myanmar, bahwa kelompok gerakan 969, Bengli dan ARSA adalah termasuk gerakan radikalisme.

Dalam kamus bahasa Arab Al-Maurid karya Dr. Rohi Baalbaki, radikalisme adalah kemauan untuk mengadakan perubahan-perubahan secara ekstrem dalam pemikiran-pemikiran dan tradisi yang umum berlaku, atau dalam situasi dan institusi-institusi yang eksis.

Maka, artikulasi tersebut menjelaskan tentang tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok (buddha; Gerakan 969, Bengli  dan ARSA) tersebut termasuk dalam katagori radikalisme.

Radikalisme agama tidak terjadi hanya pada agama tertentu saja tapi semua agama besar di dunia mengalaminya. Seperti radikalisme agama Yahudi di Palestina yang dilakukan oleh Zionisme Messianis yang anti perdamaian yang diupayakan oleh Yitzak Rabin, yang berakibat terbunuhnya PM Israil tersebut (1995) oleh Yigal Amir, juga teror di Hebron yang dilakukan oleh Baruch Goldstein.

Berikutnya radikalisme agama Katholik di Irlandia Utara (dikenal dengan Irish Repuplican Army / IRA), radikalisme agama Protestan di Amerika Serikat antara lain yang digerakkan oleh Timothy McVeigh dan Chistian Identity. Dan Radikalisme agama kaum Sikh di India yang digerakkan oleh Jarnail Singh, yang korbannya antara Lain PM Indira Gandi serta radikalisme agama Hindu-Budha di Jepang, yang digerakkan oleh Aum Shinrikyo, dengan aksinya menebar gas beracun di dalam kereta api bawah tanah di Tokyo.

Termasuk juga radikalisme agama Islam, seperti gerakan AL-Qaidah yg dipimpin Usamah bin Laden di beberapa negara, atau Bobo Haram di Nigeria, dan yang belakangan menghebohkan dunia munculnya ISIS yang dideklarasikan Abu Bakar at-Bagdadi di Irak Utara.

Radikalisme Ekstrim dalam Islam

Di kalangan Islam, radikalisme ekstrim muncul pertama kalinya pada masa pemerintahan Ustam bin Afan, dalam bentuk gerakan yang dipimpin oleh Abdulah bin Saba’ bersama dua ribu pengikutnya yang menghendaki untuk digantinya Usman bin Afan dari kedudukannya sebagai khalifah dengan Ali bin Abi Tholib. Karena mereka beranggapan bahwa Ali bin Tholib lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasul SAW, dibanding dengan Ustman.

Kelompok Abdullah bin Saba’ berhasil membunuh Khalifah Ustman bin Afan, dan Negara dalam keadaan kacau, sehingga para sahabat nabi mendesak Ali bin Abi Tholib untuk memangku jabatan khalifah untuk menghindari kehancuran Negara. Bahkan dalam sejarah gerakan radikalisme pada masa Ali semakin berkembang dengan munculnya gerakan radikal ekstrim Ibnu Saba’ yang menganggap Ali dan anak cucunya sebagai titisan Tuhan. Pada masa itu pula teror dan kekacauan terjadi.

Dengan demikian jika melihat kondisi dari realitas sejarah tersebut, radikalisme muncul karena dilatarbelakangi oleh berbagai motif. Misalnya motif kepentingan dan konspirasi politik, atau juga karena kesenjangan ekonomi, merebaknya kemiskinan, menjamurnya ketidakadilan, dendam politik serta pemahaman yang sempit dan keliru tentang ajaran agama yang diyakininya.

Agama merupakan lahan empuk untuk menjadi crying banner dalam melakukan tindakan anarkis (radikalisme), begitulah pendapat Azyumardi Azra dalam bukunya Menuju Masyarakat Madani. Dan yang perlu diwaspadai adalah ketika eskalasi kelompok radikal seolah tidak terkendali kemudian digunakanya untuk memperjuangkan kepentingan, hal itu harus menggunakan sikap tegas.

Penting kiranya untuk memperhatikan beberapa hal untuk dapat menghadapinya dengan bijak, yakni dapat menerima adanya perbedaan, menolak logosentrisme yang absolutis, menerima logosentrisme yang relativis, mengakui kesetaraan dan terbukanya ruang dialog dan komunikasi.

Adapun tindakan mengusung simbol-simbol agama yang bertujuan untuk menjustifikasi tindakan teror dengan berbagai rangkaian kronologisnya adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Semua teks-teks suci melarang keras dan mengharamkan segala bentuk permusuhan dan teror. Sehingga pada akhirnya seluruh penganut agama dan kalangan agamawan perlu melakukan pendewasaan agama ke arah yang lebih humanis dan damai.

Oleh: Ach. Mudzakki M

(Aktivis PMII UIN Sunan Kalijaga)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan