Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memasuki mobilnya usai diperiksa Bareskrim di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (14/7). Ahok diperiksa terkait proses pembelian lahan di Cengkareng Barat, Jakarta Barat. ANTARA FOTO/Reno Esnir/Spt/16.

Jakarta, Aktual.com – Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi mengatakan klaim Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mendapatkan restu dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mempunyai maksud tertentu.

Tujuannya adalah mendesak Mega segera melabuhkan dukungannya kepada dirinya, dengan embel-embel pasangannya Djarot Saiful Hidayat. Apakah bisa Ahok mendesak Mega ? Adhie menuturkan bagaimana alur ceritanya.

Cerita berangkat dari Jakarta Utara. Ahok yang baru beberapa pekan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Joko Widodo yang menjadi Presiden RI, menerbitkan izin reklamasi melalui Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2238.

Izin pelaksanaan reklamasi ini dikeluarkan pada tanggal 23 Desember 2014. Yakni untuk pelaksanaan reklamasi Pulau G pada PT Muara Wisesa Samudra. Soal reklamasi pulau ini berkasus dan saat ini tengah bergulir di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan awalan kasus suap.

Soal perijinan reklamasi tersebut, Ahok disebut-sebut mempunyai kartu truf yang sekaligus digunakan untuk menyandera Jokowi. Pernyataan Ahok didukung Mega dengan catatan berpasangan dengan Djarot merupakan upayanya agar Jokowi segera mengambil tindakan.

“Orang salah menduga dukungan Jokowi kepada Ahok, saya melihatnya lebih kepada Jokowi disandera oleh Ahok. Pernyataan Ahok didukung Mega ini sinyal agar Jokowi segera mengambil tindakan ke PDIP, ke Mega,” kata Adhie dalam perbincangan dengan Aktual, Kamis (18/8).

Kartu truf yang dipegang Ahok, lanjutnya, menjadi senjata utamanya. Jika tidak segera mengambil tindakan, bukan tidak mungkin dugaan keterlibatan Jokowi dengan pengembang reklamasi akan dibuka perlahan-lahan oleh Ahok.

Di sisi lain, pendaftaran bakal calon Gubernur dan bakal calon wakil Gubernur telah dijadwalkan pada pertengahan September mendatang. Sementara dukungan dari partai terbesar di Jakarta, PDIP, tidak kunjung diterima Ahok.

“Ahok ini sebenarnya bukan sahabat baik Jokowi, tetapi menyandera, Ahok menyandera Jokowi. Dengan melihat fakta sebelumnya, Ahok menyeret Jokowi dalam berbagai kasus, terakhir soal reklamasi, bahwa pengembanglah yang menjadikan Jokowi sebagai Presiden. Itu kan ancaman,” jelas Adhie.

Soal politik sandera yang dilancarkan Ahok ini, Adhie menyinggung bagaimana pihak yang berseberangan soal reklamasi dibuat tidak berkutik melalui tangan Presiden Jokowi. Salah satunya Rizal Ramli yang sejak awal menolak reklamasi tiba-tiba dicopot dari kursi Menko Maritim.

Begitu juga dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang dibuat tidak berkutik oleh Ahok. Padahal perijinan reklamasi sangat jelas menyalahi aturan yang ada.

Dalam hari-hari ke depan, Adhie belum berani mengambil kesimpulan apakah Mega atas permintaan Jokowi akhirnya menuruti keinginannya. Yakni menentukan pilihannya kepada Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta.

“Saya belum tahu ke depan, seberapa ngikutnya Mega atas permintaan Jokowi itu. Yang jelas Jokowi diminta Ahok agar mendesak Mega untuk mendukungnya,” turut dia.

Mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid itu menambahkan, Mega seharusnya tidak perlu takut dengan ancaman yang dilancarkan Ahok kepada Jokowi. Sebab apa yang terjadi sebenarnya bisa menjadi senjata utama.

Jalannya dengan melabuhkan dukungan kepada kadernya sendiri di Pilkada DKI sekaligus menggugurkan Ahok di Jakarta berikut politik sanderanya. Dengan dukungan masyarakat luas Jakarta yang belakangan menolak Ahok, Adhie meyakini instrumen yang dijadikan Ahok untuk mengancam Jokowi akan tenggelam paska Pilkada.

“Presiden Jokowi harus dibebaskan dari sandera politik Ahok, Mega bisa melakukannya, caranya dengan melikuidasi Ahok dari DKI, dengan demikian Ahok tidak punya instrumen mengancam Jokowi,” kata dia.

“Kalau sudah tidak jadi Gubernur, apa yang diasumsikan dipegang Ahok itu sudah tidak signifikan. Kalau sudah tidak jadi Gubernur, Ahok tidak mempunyai power lagi,” sambung Adhie.

Dalam kesempatan itu, Adhie menyinggung kinerja aparat penegak hukum yang seakan-akan tidak tahu dalam berbagai kasus yang diduga melibatkan Ahok. Dari Komisi Pemberantasan Korupsi, TNI, Polri hingga Badan Intelijen Negara (BIN).

Padahal kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, kasus reklamasi hingga kasus pembelian lahan di Cengkareng sangat nyata pelanggarannya. Akan tetapi aparat penegak hukum justru tidak serius menanganinya, sehingga jalan ditempat.

“Dari berbagai kasus itu Ahok selalu menyeret Jokowi, masa enggak tahu sih segamblang ini. Kalau masih diam saja, pembiaran ini sangat merugikan rakyat Indonesia. Penyanderaan ini harus dihentikan, karena rakyat membayarnya sangat mahal. Bagaimana kebijakan pemerintah kalau Presiden disandera?,” demikian Adhie Massardi.

Laporan: Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby