Pekerja mengangkat kelapa sawit di Desa Pancang, Sebatik, Kalimantan Utara, Rabu (26/8). Pemerintah masih menjadikan industri sawit sebagai lumbung devisa negara. Dalam setahun ekspor minyak sawit mentah (CPOP) dan produk turunannya mencapai 15 miliar dolar AS dan berkontribusi tiga persen untuk produk domestik bruto (PDB) Indonesia. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/kye/15.
Faizal Rizki Arief
Faizal Rizki Arief

Jakarta, Aktual.com —Sebelum lengser, ada beberapa langkah cepat dilakukan mantan Presiden SBY.

Salah satunya, sebuah Peraturan Pemerintah penting yang ditandatangani SBY yakni PP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut). PP tersebut ditandatangani SBY pada 16 September 2014, bersamaan dengan sidang paripurna DPR RI yang menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) atau Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas untuk menjadi Undang-undang.

Dengan meratifikasi AATHP itu, Indonesia adalah negara terakhir di ASEAN yang meratifikasi setelah 12 tahun Indonesia tegas menolaknya. Ratifikasi AATHP muncul untuk menjawab kasus polusi udara akibat kebakaran hutan di Sumatra (terbanyak di Riau) dan Kalimantan pada 1997-1998 lalu.

Sontak pengusaha, LSM dan beberapa akademisi yang bergerak di sektor kehutanan dan perkebunan saat itu mempertanyakan karena PP Gambut tersebut dianggap tidak sejalan dengan Undang-undang (UU) Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahkan dianggap bisa mematikan industri Hutan Tanaman Industri dan Kelapa Sawit yang saat ini masih menjadi andalan ekspor non migas Indonesia.

Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan mengaku meski sudah disahkan, PP Gambut itu masih terbuka untuk direvisi secara hukum atau di-judicial review-kan.

Sepuluh hari pasca ratifikasi AATHP dan pemberlakukan PP Gambut tepatnya 26 September 2014, empat raksasa (konglomerat) perusahaan sawit Indonesia yang proyeknya tersebar di di Provinsi Riau, Kalimantan dan Papua bertemu dalam sebuah acara penting yakni “United Nations Climate Summit Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia)”. Empat perusahaan itu, Golden Agri Resources, Wilmar, Cargill dan Asian Agri bersama Kadin Indonesia menandatangani kesepakatan bersama yang disebut “Indonesia Palm Oil Pledge”.

Inti dari kesepakatan itu adalah komitmen dari produsen minyak sawit terkemuka di Indonesia untuk memutus keterkaitan antara produksi minyak sawit dan penebangan dan pembakaran hutan (deforestasi). Ikrar ini juga memuat sasaran berkelanjutan industri minyak sawit Indonesia termasuk dengan bekerja bersama Pemerintah Republik Indonesia dalam reformasi kebijakan untuk mempromosikan produksi minyak sawit yang berkelanjutan, tidak menanam di lahan kaya karbon (high carbon stock land) dan lahan gambut, dan memenuhi komitmen untuk mengimplementasikan standar-standar ini kepada supplier atau pihak ketiga. Ikrar ini tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga pada operasi perusahaan-perusahaan tersebut di seluruh dunia.

Saat itu, Presiden SBY, Menko Chairul Tanjung, Menko Agung Laksono, Menko Djoko Suyanto, beberapa Menteri kabinet, beberapa pengusaha Indonesia dan Amerika Serikat menyaksikan secara langsung penandatanganan komitmen itu. Ini salah satu peristiwa penting di akhir kekuasaan SBY.

Yang menarik, seminggu pascapenandatanganan itu, tepatnya pada 3 Oktober 2014, Kementerian Pertanian mengumumkan bahwa bantuan hibah turun dari UNDP sebesar USD15,5 juta untuk mendorong program Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Kementerian Pertanian pada hari itu juga (3 Oktober 2014) meresmikan pencanangan platform nasional untuk program tersebut yang akan dilakukan di Riau, Kalimantan dan Papua.

Inti dari ISPO ini adalah mendorong ribuan petani yang tanahnya terbatas untuk bisa menanam kelapa sawit di bawah binaan beberapa perusahaan sawit besar. “ISPO is rather like a driving license for palm oil famers in Indonesia. By requiring all farmers to meet minimum sustainability requirements, the government is actually committing to formalize palm oil smallholders, and provide vital assistance such as land titles and capacity building. This is long overdue and will allow Indonesia not only to improve farming practices and the economic outlook from palm oil, but also protect the country’s environment and forests,” kata Tomoyuki Uno, Asia Manager for UNDP’s Green Commodities Programme di laman UNDP.org.

Di hari yang sama juga, AFP (3 Oktober 2014) menurunkan sebuah berita bertajuk “US reduces Indonesian debt in exchange for wildlife protection”. Dalam badan berita itu ditulis: “The United States has struck a deal to reduce Indonesia’s debts in exchange for Jakarta pledging about USD12 million for programmes to protect endangered species and their habitats on Sumatra island, conservationists said Friday”…. “The United States is proud to partner with the government of Indonesia and the NGO sector to help protect and preserve the diverse wildlife that exists on Sumatra,” kata Kristen Bauer, charge d’affaires di Kedutaan AS di Jakarta saat itu.

Sangat keras diduga bahwa ada rantai kait kuat yang menghubungkan kepentingan asing di industri Sawit Indonesia pada peristiwa ditandatanganinya RPP Gambut, ratifikasi AATHP, komitmen Indonesia Palm Oil Pledge, program Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sampai dengan kucuran dana dalam skala besar untuk penguatan LSM Lingkungan.

Rusli Tan, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) sempat mengatakan bahwa PP Gambut yang diteken pada detik-detik Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berakhir berbau campur tangan asing. “Asing selalu coba hambat sana dan hambat sini dengan berbagai isu lingkungan untuk menjadikan industri pulp dan kertas serta sawit sulit berkembang,” seperti dikutip Kantor Berita Antara,  Rabu 21 Januari 2015 lalu.

Setahun kemudian…

Peristiwa penting September tahun lalu itu terulang lagi pada bulan September tahun ini. Beberapa media dan LSM ramai-ramai melaporkan beberapa kebakaran hutan mulai terjadi. Puluhan demo menekan Presiden Jokowi untuk segera menyelesaikan masalah ini.

Data terakhir, sekitar Rp500 miliar sudah dihabiskan negara dan mungkin akan bertambah lagi hanya untuk mengatasi kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Kalimantan dan beberapa titik yang tersebar di pulau lain. Dan negara tetangga siap mengajukan gugatan hukum ketika asap kebakaran tersebut ternyata mengganggu juga negaranya. Ya ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) tahun lalu itu membuat Indonesia tidak bisa berkutik lagi jika asap kebakaran sampai ke Singapura misalnya.

Kepolisian sudah mengumumkan beberapa perusahaan besar yang bergerak di industri sawit/HTI dan perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan besar itu yang diduga kuat menjadi penyebab kebakaran. Tapi kepolisian harus paham juga bahwa kebakaran itu ternyata disumbang juga oleh kebijakan pemerintah yang mengizinkan ratusan bahkan ribuan petani kecil membakar lahan sempitnya untuk membuka lahan sawit dalam kerangka mendorong program Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Itu belum yang diakibatkan karena kemarau panjang. Dan yang paling menyesakkan dada kita adalah dugaan kuat ada kelompok kepentingan tertentu yang memang sengaja membakar lahan-lahan yang ada. Ini sudah keterlaluan.

Lalu, mengapa kebakaran hutan dan kabut asap yang dulu hanya menjadi isu nasional sekarang menjadi isu geopolitik penting?

Jawabannya, salah satunya adalah karena Indonesia dan Malaysia sudah mulai sepakat untuk membentuk sebuah dewan sawit yang sudah direncanakan sejak 2006 lalu. Baru pada tahun ini kedua negara sepakat untuk membentuk “Dewan Negara Penghasil Kelapa Sawit (C Pop/Council of Palm Oil Producing Countries)”.

“Karena kita tahu 85 persen produksi minyak kelapa sawit (global) ada di Indonesia dan Malaysia,” kata Jokowi setelah menerima Perdana Menteri Malaysia Najib Razak di Istana Bogor, pada Minggu, 11 Agustus 2015 lalu.

Saat itu Jokowi menjelaskan dengan kekuatan pasar global sawit yang dimiliki Indonesia dan Malaysia, dewan itu akan menentukan sendiri standar minyak sawit global baru. Maklum, sampai saat ini standar minyak sawit global banyak dipengaruhi oleh kepentingan beberapa perusahaan multinasional dibalik Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang menentukan standar berdasarkan kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional saja. Rencananya, kedua negara juga akan membangun zona hijau ekonomi yang juga akan mempromosikan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (biofuel).

Data yang dimiliki Aktual, produk turunan dari industri kelapa sawit global mulai meningkat tajam sejak pertumbuh permintaan global terhadap biofuel pada 2011 lalu. Sekadar catatan, produk turunan dari kelapa sawit tak hanya untuk bahan dasar produk kosmetik, sabun, plastik, karet, pelumas detergen cair, atau shampoo. Tapi sudah menjadi bahan dasar penting biofuel, pengganti bahan bakar minyak. Bahkan untuk bahan dasar pembangkit tenaga listrik.

Soal tersebut, masyarakat belum banyak yang paham. Bahwa di negara seperti AS dan Eropa, biofuel dihasilkan dari kedelai, jagung, bunga matahari sampai minyak daur ulang. Menurut data, produktivitas biofuel per hektar sawit Indonesia dibandingkan kedelai AS saja bisa mencapai 9-10 kali lipat untuk luas lahan yang sama. Intinya cost produksinya jauh lebih murah dengan menggunakan sawit dibandingkan dengan bahan lainnya.

Apalagi ketika terjadi defisit minyak nabati global pada 2013 lalu yang mencapai 7 juta ton per tahun. Dengan total luas lahan kedelai dunia yang saat ini mencapai 150 juta ha dibanding lahan sawit dunia yang baru 20 juta ha —sekitar 9 juta ha ada di Indonesia— sudah jelas industri sawit Indonesia sudah diprediksi akan mampu menggeser dominasi AS dan Eropa dalam menghasilkan minyak nabati juga. Ini yang membuat AS dan Uni Eropa deg-degan.

Sekadar informasi, Uni Eropa dan Amerika Serikat sudah menargetkan biofuel menjadi energi yang paling penting untuk mengganti minyak dan gas sampai 10 tahun ke depan. Biofuel akan dijadikan bahan bakar untuk sektor transportasi agar emisi gas karbon turun sampai 20%. Uni Eropa bahkan sudah menargetkan bahwa pada 2050 nanti, 40% biofuel harus digunakan sebagai campuran bahan bakar pesawat terbang. Saat ini, International Air Transport Association (IATA) sudah menetapkan target penggunaan 6% biofuel sebagai campuran bahan bakar pesawat terbang sampai 2020 nanti.

Jadi, cara paling mudah untuk agar industri sawit Indonesia tidak besar dan menguasai pasar global adalah dengan menyerang industri sawit lewat isu-isu lingkungan, isu industri sawit berkelanjutan, kesepakatan bilateral sampai tekanan akibat disetujuinya pinjaman dari negara asing. Dan langkah terakhir, kapital asing harus mampu menguasai industri sawit Indonesia agar merekalah yang menjadi penguasa industri sawit global. Indonesia harus ditempatkan sebagai buruh penghasil bahan mentah sawit saja.

Jadi, ini adalah perang sesungguhnya yang terjadi dibalik kabut asap. Kunci yang harus dipegang teguh oleh pemerintah adalah Industri Sawit Indonesia harus menjadi kekuatan Indonesia menghadapi tantangan global dengan cara meningkatkan nilai tambah bahan baku kelapa sawit menjadi produk olahan.

Indonesia jangan lagi ekspor bahan mentah sawit. Indonesia harus bisa meningkatkan nilai tambahnya dengan menjualnya dalam bentuk lemak alkohol (fatty alcohol), surfactant, soap noodle, glycerine atau yang lainnya dan sekaligus menjadi bahan biofuel. Bukan saatnya lagi menggenjot produksi kelapa sawit besar-besaran dengan membuka lahan-lahan baru lagi di Riau tapi optimalisasi hasil yang ada. Untuk itu, harus dikembangkan industri hilir kelapa sawit yang kuat di Riau, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Meski langkah ini pasti mendapat ganjalan dari banyak kepentingan.

Sebenarnya pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan Jokowi-JK bukan memadamkan api dan menghilangkan kabut asap tapi memadamkan kabut kepentingan besar dibalik kebakaran lahan dan hutan kita agar Indonesia tetap berdaulat di industri sawit.

Semoga rezim ini tidak menggadaikan industri penting ini ke tangan asing.