Swing voters dan golput di pilkada Jakarta 2017. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.Com-Lama saya merenungi data LSI-Denny JA tentang pilkada Jakarta yang baru saja selesai kemarin (tgl 9 Feb 2017). Lima hari menjelang pencoblosan, data itu menunjukkan tiga hal.

Pertama, pilkada potensial berlangsung dua putaran. Elektabilitas ketiga calon sangat jauh dari dukungan untuk satu putaran. Untuk pilkada satu putaran, satu calon gubernur membutuhkan dukungan di atas 50%. Sedangkan calon yang ada masih butuh dukungan belasan persen lagi menuju ke sana.

Kedua, ini juga menakjubkan. Baik Agus, Ahok atau Anies belum ada yang dukungannya pasti aman untuk lolos pada putaran kedua. Untuk tiket aman putaran kedua, elektabilitas harus mencapai formula (100%: 3 kandidat) + margin of error. Itu sama dengan 33.3% + 2,9%, yaitu 36,2%.

Elektabilitas semua kandidat dalam survei ini masih di bawah 36,2 persen, dan saling bersaing dengan selisih di bawah margin of error. Agus pernah mencapai angka itu pada survei LSI (Jan 2017), ataupun survei Kompas sebelumnya (Des 2016). Namun di bulan Feb ini, Agus menurun.

Ahok juga pernah mencapai angka itu dalam survei LSI sebelumnya. Bahkan di bulan Maret 2016, dukungan Ahok pernah di angka 59 persen. Di bulan Feb ini, Ahok juga menurun dan di bawah magic number itu (36, 2 persen)

Anies di awal Feb 2017, menaik signifikan melampaui dua kandidat lain. Namun di tgl 8-9 Feb 2017, Anies juga menurun, dan elektabilitasnya juga di bawah 36, 2 persen.

Aha!! Ujar saya dalam hati sambil minum kopi pahit. Dua data di atas menggiring pada temuan ketiga. Calon gubernur yang akan lolos ke putaran kedua adalah dua cagub teratas yang paling gesit di sisa waktu. Yaitu yang dalam waktu lima hari ini, dua cagub itu berhasil mengambil paling banyak swing voters (22,6%).

Dua cagub itu harus paling berhasil pula memobilisasi pendukungnya datang ke TPS, sehingga golput pendukungnya paling kecil (rata rata golput pilkada DKI di atas 30%). Dua cagub itu bisa Agus dan Ahok, Agus dan Anies, Atau Ahok dan Anies. Sisa lima hari ini menjadi penentunya.

Demikianlah kesimpulan survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI DENNY JA). Survei dilakukan pada tanggal 8-9 Februari 2017 di Jakarta. Ini survei wawancara tatap muka terhadap 1200 responden. Responden dipilih dengan menggunakan metode multistage random sampling. Margin of Error survei ini plus minus 2.9%.

Survei ini dibiayai dengan dana sendiri, dan dilengkapi pula dengan kualitatif riset (FGD/focus group discussion, media analisis, dan indepth interview).

Dibanding data LSI di awal Feb 2017 (29 Jan-1 Feb), data 8-9 Feb, menunjukkan dukungan cagub, tiga-tiganya menurun. Saling pukul, saling serang, saling sikat pendukung masing-masing calon sama sama berhasil. Akibatnya elektablitas ketiga-tiga calon menurun.

Kini elektabilitas pasangan Agus H. Yudhoyono – Sylviana Murni (Agus-Sylvi) sebesar 30.9%. Pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot S. Hidayat (Ahok-Djarot) sebesar 30.7%. Pasangan Anies R. Baswedan-Sandiaga Uno (Anies-Sandi) sebesar 29. 9 %. Dan yang belum menentukan pilihan /TT/TJ sebesar 8.5%.

Survei LSI awal Januari 2017, pasangan Agus-Sylvi memperoleh dukungan 36.7%. Survei Februari Awal (28 Januari – 1 Februari 2017) dukungan Agus-Sylvi turun menjadi 31.1%. Di survei Februari terbaru (8-9 Februari), meskipun ada penurunan lagi ke angka 30.9%, tetapi penurunan Agus tidak sebesar survei sebelumnya.

Pasangan Ahok-Djarot di Januari 2017 didukung 32.6%, kemudian di Februari awal turun menjadi 30.8%. Ini adalah penurunan kembali Ahok setelah rebound di november 2016. Di survei februari terbaru (8-9 Feb) dukungan Ahok-Drajot diangka 30.7%.

Pasangan Anies-Sandi mengalami kenaikan sangat signifikan dari 21.4% (awal Januari 2017), menjadi 32.2% di Februari awal. Akan tetapi di survei Februari (8-9 Feb) terbaru dukungan Anies- sandi turun ke angka 29.9%.

Dalam kondisi persaingan yang maha ketat, swing voters menjadi penentu. Swing voters menjadi “dewa elektoral,” sang hakim kemenangan. Dua cagub yang paling berhasil memikat hati Swing voters dalam sisa lima hari ini, ia yang mendapatkan tiket maju ke putaran kedua.

Apa itu swing voters? Berapa prosentasenya? Di segmen pemilih mana swing voters masih tersisa? Dalam laporan ini, swing voters didefiniskan sebagai kumpulan pemilih yang belum menentukan pilihan. Yaitu para undecided voters ditambah pemilih yang sudah memilih tapi masih ragu (soft supporters).

Dengan definisi yang luas tersebut, saat ini, total swing voters di 5 hari menjelang pencoblosan sebesar 22.6%. Angka ini diperoleh dari penjumlahan mereka yang belum menentukan pilihan (8.5%), ditambah pemilih yang sudah menentukan pilihan pada satu pasangan calon, namun masih ragu dan bisa mengubah pilihan (soft supporters).

Pasangan Agus-Sylvi yang elektabilitasnya 30.9%, terdapat 6.3% soft supporter di dalamnya. Pasangan Ahok-Djarot yang elektabilitasnya 30.7% terdapat 3.5% soft supporter di dalamnya. Dan Pasangan Anies-Sandi yang elektabilitasnya 29.9 % terdapat 4.3% soft supporter di dalamnya.

Besarnya swing voters yang ini membuat pilkada Jakarta menjadi lapangan yang tak bertuan. Semua calon gubernur masih mungkin lolos di putaran kedua, sekaligus mungkin pula tersingkir. Apalagi tak satupun kandidat gubernur yang kini unggul telak.

Lalu bagaimanakah karakter dan kecenderungan swing voters itu? Detail karakter swing voters disampaikan dalam konf pers LSI Jumat 10 Feb ini.

Misalnya dari 85 persen pemilih muslim yang sudah menentukan pilihan sebesar 75.8%. Masih ada 24.2% yang masuk kategori swing voters. Pemilih non muslim (+/- 15%) umumnya sudah menentukan pilihan (88.0% sudah menentukan pilihan). Hanya tersisa 12.0% yang masih ragu, bisa berpindah pilihan, dan belum menentukan pilihan.

Dari sisi pendukung koalisi partai, yang berkategori swing voters paling tinggi di konstituen partai pendukung koalisi Anies-Sandi sebesar 24.2%. Konstituen koalisi Agus-Sylvi sebanyak 22.8%. Dan Konstituen koalisi Ahok – Djarot yang sebesar 21.5%.

Dan sebagainya, dan sebagainya.

Kembali saya berdialog dengan data itu. Mengapa lima hari menjelang pencoblosan, dukungan ketiga cagub justru menurun. Lazimnya mendekati hari pencoblosan, semua dukungan menaik dan swing voters mengecil! Atau hanya beberapa calon saja yang turun, tapi ada calon yang naik. Mengapa untuk kasus DKI 2017, justru dukungan ketiga calon menurun secara bersamaan di H-5 hari?

Kopi pahit di samping kanan menemani renungan. Saya bulak balik itu data, termasuk analisa media, dan data kualitatif lainnya.

Pemilih Jakarta memang sungguh terbelah. Pembelahan itu sama kuatnya. Masing masing pendukung agaknya berhasil menemukan, mengolah, dan memasarkan isu yang saling menggerogoti dukungan kompetitornya.

Attacking campaign, saling serang antar pendukung, baik secara halus sampai yang paling vulgar, ataupun kritik jenaka, ternyata sama sama efektif menurunkan dukungan semua kandidat.

Penurunan elektabilitas Agus-Sylvi terjadi antara lain karena isu kasus hukum sylvi yang selalu diblow-up. Agus juga dibully sangat intensif di media sosial, untuk isu kompetensi dan kapabiltasnya. Aneka hasil wawancara Agus atau hasil debat televisi, ataupun istilah bahasa Inggris yang acakali diucapkan Agus menjadi meme lucu-lucuan.

Penurunan elektabilitas Ahok-Djarot terjadi umumnya soal isu agama. Pernyataan keras Ahok dan kuasa hukumnya terhadap KH Ma’ruf Amin menghasilkan “Ma’ruf Amin’s Effect. Perlakuan itu memicu protes dari tokoh islam dan NU. Dan itu punya efek elektoral. Apalagi jumlah komunitas NU dalam pemilih Jakarta sebesar sekitar 30 persen.

Pernyataan Ahok di AL jazera TV juga memberikan efek negatif kepada pemilih Muslim. Ahok menyatakan tidak menyesal dan akan mengulang lagi mengutip Al maidah 51. Ahok yang tadinya sudah minta maaf dan dianggap kepleset lidah kok malah ngaku tidak menyesal dan tak masalah mengulangi kutipan Al-Maidah kembali? Apa yang ingin Ahok capai dengan pernyataan publik itu di era pilkada?

Anies-Sandi sempat naik dukungannya, menjulang tinggi. Tapi pada survei 8-9 Feb, dukungannya menurun kembali. Beredar selebaran isu Anies didukung kelompok syiah. Seolah jaringan Syiah DKI menyerukan anggota memenangkan Anies. Jika Anies menang, ujar selebaran itu, Syiah tak lagi mengalami diskriminasi. Syiah juga akan bangkit bersama Anies.

Tak ada yang salah jika ada kelompok mendukung calon. Pastilah calon mencari dukungan sebanyak mungkin dari pemilih yang sah, apapun identitasnya. Dukung mendukung itu kegiatan legal yang justru diburu oleh semua calon.

Tapi team anies sudah mengklarifikasi selebaran itu tak benar. Pada sebagian pemilih, selebaran itu memang punya pula efek elektoral yang tak selalu positif. Apalagi jika itu dukungan terbuka dari kalangan yang tak populer bagi kantong pemilih lain, yang mayoritas, yang tak suka Syiah.

Ditambah lagi banyak tokoh moderat yang senang Anies sejak lama juga semakin berkampanye justru kini melawan Anies. Mereka menganggap Anies kini semakin ke “kanan,” meninggalkan prinsip lamanya soal perlindungan minoritas, dan sebagainya.

Selain swing voter, isu lain yang juga perlu diperhatikan Voter Turn Out. Kebalikan dari Voter Turn Out ini, bahasa kerennya GOLPUT!! Struktur golput dapat mengubah siapa pemenang, yang berbeda dengan hasil umumnya survei.

Istilah golput mengacu pada pemilih yang suaranya tidak dihitung. Dukungan tidak dihitung karena pemilih tersebut tidak datang ke TPS atau pemilih datang tetapi suaranya tidak sah (misalnya mencoblos dua calon).

Angka golput di DKI Jakarta pada Pilkada 2007 lalu mencapai 34.6%. Pada pilkada DKI 2012 putaran pertama, 36.4%. Golput putaran kedua sebesar 33.3%. Angka golput pilkada Feb 2017 cukup layak jika mencapai lebih dari 30%.

Dilihat dari efek elektoralnya, Golput dapat di klasifikasi menjadi dua. Pertama golput proporsional. Yaitu golput yang menimpa semua kandidat secara proporsional. Jumlah pendukung cagub yang golput dari semua calon hampir sama banyaknya secara proporsional. Berapapun jumlah prosentase golput, sejauh ia golput yang proporsional, golput ini tidak akan mengubah pemenang.

Kedua, Golput non-proporsional. Yaitu Golput yang punya efek elektoral karena mengubah pemenang. Pendukung calon tertentu yang tidak datang ke TPS jauh lebih banyak dibanding pendukung calon lain.

Golput ini akan mempengaruhi hasil. Tak peduli sekredibel apapun lembaga survei itu, hasil akhir pemilu/pilkada akan sangat berbeda jika yang berlaku adalah golput non-proporsional.

Ini disebut anomali. Dari 100 pemilu/pilkada, 5-10 persen secara random bisa mengalami anomali seperti itu. Para peneliti lembaga survei hanya bisa tertegun jika yang datang adalah golput non-proporsional.

Mengapa hasil survei beberapa lembaga di tahun 2012 berbeda dengan hasil KPU? Salah satunya karena Golput non proporsional terjadi pada pilkada DKI 2012. Semua lembaga survei yang terpublikasi menyatakan elektabilitas Foke di atas Jokowi. Pada hari pencoblosan, Pendukung Foke lebih banyak golput di bandingkan dengan pendukung Jokowi. Akhirnya dukungan untuk Foke justru kalah di bandingkan Jokowi.

Perlu juga diwaspadai oleh setiap kandidat perkara money politik. Sebanyak 71.1% pemilih percaya akan ada politik uang dalam pilkada DKI 2017. Hanya 13.1% yang menyatakan tidak percaya.

Sebesar 47.8 persen pemilih menyatakan politik uang mempengaruhi pilihan kandidat.

Di tangan penjudi dan penjahat elektotal, ini public mood yang asyik untuk bermain money politics mengubah hasil. Dari 7 juta pemilih Jakarta misalnya, cukup ia “menyemai” 20 persen pemilih, sekitar 1,4 juta pemilih, ia bisa mengubah siapa yang akhirnya menang. Bandar akan untung banyak justru jika underdog yang akhirnya menang.

Money politics tak hanya musuh semua kandidat. Ia juga musuh aneka lembaga survei. Akibat kecanggihan sang bandar, hasil survei lembaga manapun yang kredibel bisa porak poranda.

Kembali saya menyerumput kopi merenungi ketatnya persaingan pilkada Jakarta. Juga merenungi masih banyaknya variabel setelah survei terakhir dilakukan yang bisa mempengaruhi hasil.

Di luar negri, di negara yang demokrasinya matang, survei tetap bisa dilakukan di menit terakhir sebelum TPS dibuka. Cukup angkat telefon, survei yang kredibel bisa diperoleh. Pemilik telefon (fixed line) di sana sudah di atas 90 persen. Populasinya cukup untuk survei telefon.

Tapi di Indonesia, bahkan di Jakarta, pemilih telefon (fixed line) di bawah 40 persen. Menggunakan survei telefon praktis akan membuat 60 persen pemilih yang tak punya telefon tidak terwakili. Alias ini hasil survei yang pasti akan salah.

Survei cepat tgl 8-9 Feb, yang kini dilakukan LSI, tetap wawancara tatap muka, di H-7 dan H-6, ini adalah survei paling ujung yang bisa dilakukan, agar hasilnya selesai sebelum hari tenang.

Saya cek kembali data. Tersisa waktu tinggal 5 hari. Saya tertegun dengan kesimpulan ini. Siapapun yang akhirnya lolos menuju ke putaran kedua adalah yang paling bisa mengambil suara swing voters, paling mampu memobilisasi pendukungnya datang ke TPS dalam lima hari ini. Ya, dalam lima hari ini.

Itupun dengan catatan: tak ada money politcs yang signifikan.

Bagaimanakah range elektabilitas calon gubernur terbaik dan terburuk yang bisa ia capai dengan data muthakhir H-5 hari?

Elektabilitas terburuk bagi cagub jika yang bertahan hanya pemilih militannya (strong voters):

– Agus Sylvi: 24.6 persen
– Ahok Djarot: 27.2 persen
– Anis Sandi: 25.6 persen

Elektabilitas terbaik jika calon bisa meraih seluruh undecided voters (bukan seluruh swing voters sebesar 8.5 persen)

Agus-sylvi: 30,9 persen + 8.5 persen = 39,4 persen
Ahok Basuki: 30,7 persen + 8.5 persen= 39,2 persen
Anies Sandi: 29, 9 persen+ 8.5 persen = 38.4 persen

Inilah range elektabilitas terbaik dan terburuk para calon lima hari sebelum pilkada

-Agus Sylvi: 24.6 – 39.4 persen
– Ahok Basuki: 27.2 – 39.2 persen
– Anies Sandi: 25.6 – 38.3 persen
Penulis : Denny JA

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs