Ruang Publik, Partisipasi dan Kekerasan (Aktual/Ilst)
Ruang Publik, Partisipasi dan Kekerasan (Aktual/Ilst)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Habermas membantah hipotesis Huntington tentang pergeseran penting sifat-sifat konflik yang menandai globalisasi. Konflik peradaban, dalam hipotesis Huntington, tidak terjadi karena perbedaan ideologi dan ketidaksetaraan ekonomi, tetapi karena motif-motif budaya dan agama. Menurut Habermas, distorsi komunikasi sebagai akibat globalisasi tidak bersifat kultural dan agama, melainkan ekonomi, meskipun kemudian melahirkan gerakan protes atas nama agama. Ini dapat dilihat dari koalisi negara-negara Barat yang hanya memfokuskan diri pada strategi ekonomi pasar. Penekanan pada strategi ekonomi pasar menyuburkan konsumerisme, selanjutnya melahirkan ledakan di tengah lapisan penduduk dunia yang merasa paling dirugikan. Ledakan akibat konsumerisme membangkitkan reaksi spiritual sebagian kalangan sebagai satu-satunya alternatif mengatasi masalah global.

Argumentasi Habermas ini beranjak dari pemilahannya atas kehidupan modern ke dalam distingsi antara dunia sistem dan dunia kehidupan. Dengan dunia sistem, Habermas menunjuk pada institusi atau konstitusi-konstitusi yang ada dalam masyarakat, sementara dunia kehidupan adalah praktik-praktik komunikasi yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Melalui distingsi ini, Habermas hendak membersihkan praktik-praktik komunikasi yang berlangsung dalam dunia sehari-hari dari kolonisasi dunia sistem. Kolonisasi dunia kehidupan oleh sistem dapat mendistorsi aktivitas komunikasi dalam masyarakat. Sejalan dengan asumsi ini, globalisasi telah memanipulasi atau mendistorsi praksis komunikasi dunia sehari-hari tersebut ke dalam sistem.

Penutup
Orde Reformasi sesungguhnya memberikan tanggung jawab yang besar kepada masyarakat karena pemerintah tidak lagi menjadi pengatur dan “penjaga malam”. Warga masyarakat, baik yang terpaut dengan political society maupun civil society dituntut untuk memelihara ruang publik dan kebebasan sambil tetap menjaga perhatian pada kebajikan bersama. Kegagalan kita dalam menempatkan ruang publik sebagai satu-satunya institusi definitif dalam demokrasi modern akan berakibat fatal, yaitu kematian civil society. Sudah tak terhitung berapa buku yang dilarang, para pejuang demokrasi terbunuh di ujung laras bedil kaum fanatik, dan kegiatan kesenian yang dibubarkan tanpa suatu argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tetapi kebebasan dan ruang publik harus dikelola secara dewasa. Ketidakmampuan masyarakat dalam mengorganisir kebebasan memunculkan kekhawatiran terjadinya “kebebasan yang kebablasan”, yang mengandung ancaman terjadinya anarki. Inilah yang dicemaskan banyak pihak, bahwa kebebasan tidak dibarengi dengan prinsip tanggung jawab.

Dalam kaitannya dengan tanggungjawab ini, perlu diingat pula bahwa kebebasan bukanlah udara bebas yang senantiasa bisa dihirup tanpa pengorbanan. Ia harus diperjuangkan dengan menegakkan keadilan. Demokrasi haruslah dimaknai sebagai kesetaraan, karena kesetaraan pada hakikatnya mengandaikan terciptanya kebebasan. Lebih lanjut, egalitarianisme berusaha mengambil konsepsi tentang demokrasi dari prinsip kesetaraan antar-sesama manusia karena, berdasarkan pengalaman, setiap konflik yang terjadi adalah akibat ketaksetaraan antar-mereka. Faktor kebebasan dan persamaan merupakan sesuatu yang penting dalam demokrasi. Dua persoalan ini menjadi penting mengingat keduanya merupakan modal bagi sebuah kemajuan. Kebebasan merujuk kepada kebebasan bekerja, kebebasan bersikap sesuai dengan kadar kemampuannya, dan kebebasan berfikir.

Membahas indikator ini tidak akan terlepas dari upaya pemerintah dan otoritas internasional dalam menjamin hak-hak sipil tersebut. Namun yang terpenting adalah bahwa kebebasan tidak boleh diterjemahkan sebagai bebas bertindak sesuka hati tanpa memperhatikan peraturan dan ketentuan yang berlaku.

Konsolidasi demokrasi di Indonesia akan berhasil jika kita berhasil mengelola tuntutan kebebasan dan keadilan. Jika keduanya tak berjalan berkelindan, ancaman yang akan kita hadapi tidak saja soal disintegrasi sosial, tapi juga akan hancurnya kerekatan sosial (social bond) dalam masyarakat. Bila kerekatan sosial hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial, sehingga kelompok yang satu dengan yang lainnya dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan, yang paling mengerikan, adanya upaya untuk saling meniadakan. Dalam situasi ini, tawuran massal gaya Thomas Hobbes, war of all againts all, bukan lagi mitos. Dengan ini, kita sadar, betapa pentingnya membuka diri penuh cinta untuk yang lain.

(Selesai)