Seorang mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Bima berorasi saat berunjuk rasa di Jalan Andi Pangeran Pettarani, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (26/12). Mereka mendesak Kapolda NTB segera menangkap pelaku penembakan terhadap aktivis anti tambang saat berunjuk rasa pada 20 Desember 2011 lalu. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/kye/15

Jakarta, Aktual.com – Kordinator Komisi Untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan, bahwa selama tahun 2015 ini negara belum menjamin kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul. Yang padahal, hal itu merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (Ham) pasalnya, pemerintah menyalah gunakan Undang-Undang yang menjamin hak-hak tersebut.

“Undang-Undang serta kebijakan yang menjamin hak-hak tersebut, justru digunakan sebagai dalil untuk mengontrol ekspresi kebebasan publik,” ujarnya di kantor KontraS, Sabtu (26/12).

Sepanjang tahun 2015, KontraS mencatat ada 238 peristiwa pembatasan kebebasan secara sewenang-wenang. Yang mana, pelaku pembatasan ini didominasi oleh aparat kepolisian dengan 85 kasus. Kemudian disusul oleh pejabat publik dengan 49 kasus, organisasi-organisasi kemasyarakatan dengan 31 kasus, aparat TNI dengan 17 kasus, dan Universitas dengan 5 kasus. Sedangkan wilayah provinsi yang paling banyak pelanggaranya ialah Jawa Barat dengan 41 kasus pelanggaran berkespresi.

Haris menuturkan, jika pelanggaran yang dilakukan eh aparat kepolisian banyak terjadi pada kasus pembubaran aksi demonstrasi, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penganiayaan, pelarangan liputan, juga pelarangan menggunakan jilbab. Sedangkan pelanggaran oleh pejabat publik, rata-rata berbentuk pelarangan kegiatan, pembredelan penerbit, juga pemblokiran situs-situs atas nama pemberantasan radikalisme.

Lebih lanjut, Haris menyinggung persoalan draf pasal penghinaan terhadap Presiden yang rencananya akan dimasukan dalam revisi KUHP. Menurut Haris, kebijakan itu sama sekali tak memiliki ruang definisi ‘penghinaan’ presiden yang baku. Dan hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap rakyat untuk memberikan masukan.

“Memberikan hukuman kepada mereka yang melakukan tindakan penghinaan juga bertentangan dengan prinsip di mana warga sebagai kelompok kolektif sosial, ekonomi dan politik yang meminjamkan kekuasaannya kepada negara untuk dikelola dalam kedaulatan memiliki hak untuk memberikan masukan, opini bahkan kritik,” imbuhnya.

Selain KontraS, ada pula lembaga HAM Internasional yang membuat laporan yang berkaitan dengan ham di Indonesia. Kedua lembaga tersebut yakni Freedom House dan World Justice Project.

Hasil penelitian Freedom House, menempatkan Indonesia dalam status ‘partly free’. Yang artinya menurut Wakil Kordinator KontraS adalah Indonesia masih separuh merdeka, ruang-ruang yang seharusnya jadi bagian milik publik, ternyata masih dimiliki kaum politisi,” ujar Puri menambahkan

Artikel ini ditulis oleh: