Yang namanya serbuan negara asing untuk menaklukkan dan menjarah sebuah negara seperti yang diperagakan Amerika Serikat ketika menginvasi Afghanistan pada 2001 dan Irak pada 2003, sudah tidak zamannya lagi. Namun pola penjajahan gaya baru akan menggantikan pola penjajahan gaya klasik yang bersifat militeristik dan fisik tersebut.

Bila pola invasi tempo doeloe diartikan dengan pendaratan militer terhadap sebuah negara yang menjadi target dari kolonialisme, membuat takluk, merampas tanah, lalu mengeksploitasi sumber daya, dan lain-lain dimana ujungnya ialah —merampas secara fisik— perbudakan bangsa atas bangsa lain; sedang zaman now — invasi di atas sudah dianggap masa lalu meski wajah militer tetap disiap-siagakan untuk situasi kontinjensi.

Mencermati perkembangan dan kontroversi seputar pembangunan Reklamasi Teluk Jakarta dan Meikarta sepanjang tahun 2017, ada fenomena mengkhawatirkan. Invasi kini berpola investasi asing berwajah ekonomi. Padahal sama sekali tidak bersifat ekonomi dari sudut pandang motifnya.

Tanpa letusan peluru serta tak ada bau mesiu, negara target dapat ditaklukkan oleh negara lain berkedok investasi. Dan kelak ujungnya pasti perbudakan —merampas kehidupan— kendati secara senyap lagi tersamar.

Lantas, darimana pintu masuknya? Utang. Ada dua cara menaklukkan dan memperbudak bangsa. Pertama dengan pedang (militer), kedua melalui utang. (John Adams, 1735-1825). Inilah pola biadab yang dimainkan dengan tata cara (seolah-olah) beradab.

Maka itu jangan heran, jika gelombang investasi asing tiba-tiba berubah menjadi invasi yang sama hebatnya dengan serbuan militer. Itu bukan sulapan, sebab ujungnya adalah perbudakan. Tak ubahnya bagaikan penjajahan klasik pada abad ke-17 hingga abad ke-20 kala negeri kita dijajah secara fisik dan militer di oleh pemerintah kolonial Belanda.

Dampaknya dari menjelmanya investasi asing menjadi menjadi invasi asing pun serupa dengan kolonialisme klasik. Misal adanya drama Absentee of Lord di Bumi Pertiwi. Tuan tanah yang tak berpijak di tanah airnya sendiri. Rakyat menjadi tamu di negeri sendiri, menyaksikan penjarahan-penjarahan berbagai sumber daya oleh asing justru atas nama sistem dan konstitusi negaranya.

Hendrajit dan M Arief Pranoto.