Jakarta, Aktual.com — Si Walet dan Putri, begitu biasa dipanggil oleh Haji Dahron, yang merupakan pemilik kesenian Kuda Ronggeng Group Walet asal Cikadu, Majalengka, Jawa Barat. Abah Dahron biasa disapa merupakan instruktur kuda kawakan di daerah Majalengka.

Sejak usia 12 tahun, dia sudah berkecimpung menggeluti kuda tari asal Majalengka ini. Saat ini dia sudah memiliki tujuh kuda diantaranya Si Walet dan Putri. Walet merupakan kuda kesayangan Abah Dahron yang berusia sembilan tahun dan Putri tujuh tahun.

Meski saat ini dia sudah memiliki tujuh kuda, dia hanya mengandalkan Walet dan Putri. Kemana pun dia mendapatkan panggilan, dia selalu mengandalkan Walet dan Putri. Kuda bertubuh mungil dan kekar itu jadi andalannya untuk mengais rezeki baik di daerahnya maupun keluar kota.
P_20160731_162123

Sepertihalnya ketika Abah Dahron dan Walet serta Putri mendapatkan panggilan untuk mengisi acara khitanan di wilayah Desa Sumurwuni, Kecamatan Argasunya, Cirebon, Jawa Barat. Sambil memakaikan aksesoris kepada Walet dan Putri, Abah Dahron pun tak lupa memberikan bacaan-bacaan doa sebelum mementaskan aksi kedua kuda kesayangannya itu.

Hal itu dilakukan, kata Abah Dahron, agar acara khitanan dan aksi si Walet dan Putri berjalan dengan lancar. Meski keduanya merupakan kuda terlatih khusus untuk mengisi acara khitanan, tetapi doa dan puji-pujian kepada Allah SWT penting dilakukan.

Sambil menghentakan kaki-kakinya, Walet dan Putri mulai melenggangkan aksinya, yang diiringi lantunan kesenian Gemyung dari Desa Gemulung, Cirebon, Jawa Barat. Seakan memahami lantunan musik tradisional tersebut, Walet dan Putri mulai berjoget. Jogetan Walet dan Putri pun memukau para tamu undangan dalam acara khitanan tersebut.

Menurut Abah Dahron, melatih kuda untuk bisa menari sesuai irama kendang bukan hal yang mudah. Seperti halnya melatih hewan sirkus, melatih kuda memerlukan kesabaran dan cukup banyak memakan waktu. Kemampuan menari sambil berjalan kemudian ditambah dengan kemampuan atraksi bermain pencak silat. Adegan yang tampak adalah kuda berdiri tertumpu pada sepasang kaki belakang, sedangkan pasangan kaki depan melakukan gerakan-gerakan silat.P_20160731_162119

Ini merupakan puncak pertunjukan Kuda Ronggeng, yang biasanya ditampilkan setelah Kuda Ronggeng melakukan arak arakan keliling kampung ditunggangi anak sunat. Selain keindahan pernak-pernik pakaian clan gerakan tari, gerakan silat ini menjadi fokus penilaian utama.

Alat musik yang digunakan pada awalnya adalah seperangkat waditra yang digunakan pada pencak silat, namun dilengkapi dengan seorang sinden. Penyajian musik pada Kuda Ronggeng menjadi lebih atraktif dengan ditambahkannya alat musik modern. Biasanya sebuah gitar melodi elektrik yang menampilkan lagu-lagu jogedan. Pada saat arak-arakan pengantin sunat, masyarakat sekitar yang suka menari atau berjoged turut memeriahkan suasana berjoged di depan kuda dengan maksud untuk menghibur pengantin sunat.

Pengantin sunat sendiri dinaikkan di atas Kuda dengan didandani sehingga tampak gagah, seperti seorang ksatria kecil sedang menunggang kuda. Namun demikian, dengan semangat jaman kesenian Kuda Ronggeng dan Kuda Pencak ini, belakangan nyaris tak pernah ada lagi.

Masyarakat yang menggelar hajatan dengan hiburan Kuda Ronggeng ini hanya ada pada orang-orang tertentu di pinggiran. Sebab, hiburan dengan menggelar kesenian Kuda Ronggeng dianggap tidak modern.

“Kesenian Kuda Ronggeng ini nyaris tak pernah digelar lagi. Hanya orang-orang yang masih cinta dengan kesenian yang masih mau menggelar, jumlahnya sangat terbatas.“ ujar Abah Dahron ketika ditemui di Desa Sumur Wuni, Kec Argasunya, Cirebon, Jawa Barat.

Kata pria paruh baya tersebut, padahal dulu banyak masyarakat yang memiliki grup Kuda Ronggeng, namun demikian sekarang jumlah pemilik kuda juga semakin terbatas. Karena sudah punah termakan jaman, banyak Kuda Ronggeng yang akhirnya dipergunakan untuk ngojek, mengangkut anak-anak di alun-alun. Dengan cara seperti itu penghasilan mereka bisa bertambah.

“Kita hanya melestarikan kesenian Kuda Ronggeng dan Pencak agar tetap diingat masyarakat.”

Menurut Abah Dahron, tumbuh kembang kesenian Kuda Ronggeng di Kabupaten Majalengka ini bermula tahun 1950-an. Kuda Ronggeng merupakan seni pertunjukan rakyat yang bersifat helaran dan pada awalnya disiapkan melayani pesta sunat. Penampilannya kemudian bukan hanya untuk pesta sunat,-namun dipersiapkan juga untuk acara lain, seperti upacara hari besar, festival, menyambut tamu, dll.

Di Majalengka, kata dia, perkembangan kesenian Kuda Ronggeng ketika itu dirasa berkembang pesat dan tersebar hampir di semua kecamatan. Dengan tidak menafikan makna spiritual yang dikandungnya, Kuda Ronggeng di Majalengka menjadi fenomena hiburan yang digemari oleh semua lapisan masyarakat ketika itu.

Seperti halnya studio Radio Indraswara Majalengka ketika itu membuat mementum yang bagus, yakni dengan membuat jadwal festival Kuda Ronggeng setiap tahun sekali. Pada saat festival inilah masyarakat mendapat kesempatan mengapresiasi kesenian Kuda Ronggeng, sekaligus memahami makna yang dikandungnya. “Makna simbolis Kuda Ronggeng adalah makna spiritual, makna interaksi makhluk Tuhan, bermakna spiritual, teatrikal dan makna universal.”

Dulu, kata Abah Dahron, banyak nama-nama kelompok kesenian Kuda Ronggeng dengan julukan yang diberikan kepada kuda yang menjadi ronggeng-nya. Misalnya Si Walet Group yang dia pimpin, karena nama kudanya adalah Si Walet, demikian pula halnya dengan nama-nama seperti Si Paser Group, Si Kalong Group, dsb.

Menurut dia, nama-nama ini juga tidak diberikan begitu saja, karena pemberian nama juga harus mempertimbangkan wanda (bentuk tubuh), karakter, dan tingkat keterampilan kuda. Misalnya Si Kalong Hideung, nama ini diberikan karena kulit tubuh kuda dimaksud berwarna hitam dan bermata seperti kalong.

Si Paser karena keterampilan berlarinya yang cepat melesat seperti sebuah paser (anak panah). Beberapa nama kuda di beberapa daerah ada yang sama, ini disebabkan oleh penyebaran keturunan, balk pemilik kuda maupun kuda sendiri. Atau bahkan karena pemilik kuda yang satu berguru kepada pemilik kuda yang lain, sehingga dengan komitmen seperlunya memberikan nama yang sama kepada kuda yang dimilikinya.

Hingga saat ini, tercatat ada 50 group kesenian Kuda Ronggeng di Majalengka. Mungkin, kata Abah Dahron, jumlah tersebut bisa saja berkurang mengingat antusiasme masyarakat saat ini kurang terhadap kesenian yang jaya ketika tahun 1950-an itu.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu